"TINGKEBAN" DALAM PERSPEKTIF BUDAYA BANGSA SECARA ISLAMI
Upacara
Tingkeban
adalah salah satu tradisi
masyarakat Jawa, upacara ini disebut juga mitoni
berasal dari kata pitu yang arti nya tujuh. Upacara ini dilaksanakan pada usia
kehamilan tujuh bulan dan pada kehamilan pertama kali. Upacara ini bermakna
bahwa pendidikan bukan saja setelah dewasa akan tetapi semenjak benih tertanam
di dalam rahim ibu. Dalam upacara ini sang ibu yang sedang hamil di mandikan
dengan air kembang setaman dan disertai
doa yang bertujuan untuk memohon kepada Tuhan YME agar selalu diberikan rahmat
dan berkah sehingga bayi yang akan dilahirkan selamat dan sehat.
Menurut tradisi Jawa, upacara
dilaksanakan pada tanggal ganjil sebelum bulan purnama seperti 3,5,7,9,11, 13
atau 15. bulan Jawa ,dilaksanakan di kiri atau kanan rumah menghadap kearah
matahari terbit. Yang memandikan jumlahnya juga ganjil misalnya 5,7,atau 9
orang. Setelah siram di pakaikan kain /jarik sampai tujuh kali, yang terakhir/
ketujuh yang dianggap paling pantas dikenakan , kemudian acara pemotongan
tumpeng tujuh yang diawali dengan doa kemudian makan rujak.dst. Hakekat yang
mendasar dari semua tradisi Jawa adalah suatu ungkapan syukur dan permohonan
kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan dan kenteraman , namun di ungkapkan
dalam bentuk lambang -lambang yang masing-masing mempunyai makna.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil
menyelesaikan Makalah Adat Istiadat ini tepat pada waktunya yang berjudul
“TINGKEBAN DALAM PERSPEKTIF BUDAYA BANGSA”
Makalah ini berisikan tentang informasi, tata cara melaksanakan
TINGKEBAN dan perlengkapan-perlengkapan yang dipergunakan pada upacara
adat TINGKEBAN.
Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita
semua tentang upacara adat atau tradisi TINGKEBAN.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Ponorogo, 22 Februari 2013
Penyusun
ABSTRAKSI
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB
I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENELITIAN
D. MANFAAT PENELITIAN
BAB
II PEMBAHASAN
A.
SEJARAH MUNCULNYA TINGKEBAN
B.
PERLENGKAPAN TINGKEBAN
C.
RANGKAIAN ACARA TINGKEBAN
D.
KAITAN TINGKEBAN DENGAN ISLAM
BAB
III KESIMPULAN
A. KESIMPULAN
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tingkeban sebagai salah
satu dari keberagaman budaya Bangsa Indonesia, sudah tidak asing lagi di
telinga masyarakat Ponorogo, dan sekitarnya. Menurut ilmu sosial dan budaya,
tingkeban dan ritual-ritual lain yang sejenis adalah suatu bentuk inisiasi,
yaitu sarana yang digunakan guna melewati suatu kecemasan. Dalam hal ini,
kecemasan calon orang tua terhadap terkabulnya harapan mereka baik selama masa
mengandung, ketika melahirkan, bahkan harapan akan anak yang terlahir nanti.
Maka dari itu, dimulai dari nenek moyang terdahulu yang belum mengenal agama,
menciptakan suatu ritual yang syarat akan makna tersebut, dan hingga saat ini
masih diyakini oleh sebagian masyarakat Ponorogo dan sekitarnya.
Sedemikian rumitnya
ritual tingkeban ini, hingga memerlukan tenaga, pikiran, bahkan materi baik
dalam persiapan maupun ketika pelaksanaannya. Semua tahap-tahap
tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai tahap-tahap yang harus dilalui. Mulai
dari pemilihan hari dan tanggal pelaksanaan saja harus memenuhi syarat dan
ketentuan yang ada. Apabila mereka melanggar, maka masyarakat sekitar akan
segera merespon negatif terhadap hal tersebut. Piranti-piranti
yang tidak sedikit jumlahnya tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit pula.
Dalam persiapannya, khususnya piranti yang berupa makanan ada yang
memerlukan waktu hingga tiga hari sebelum pelaksanaan acara, seperti jenang
dodol. Bahkan ada beberapa piranti yang harus terbuang sia-sia. Akan
tetapi masih banyak masyarakat yang belum sadar akan hal itu, bahkan
mengaggapnya wajar.
Gunung Lawu bagi sebagian
besar masyarakat Ponorogo sangatlah sakral keberadaannya.Awalnya semua adat
istiadat dan budaya daerah sekitar gunung tersebut, termasuk lereng sebelah timur pun
berkiblat pada Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Akan tetapi ketika
runtuhnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1400, terjadi akulturasi budaya dengan
Kerajaan Majapahit. Hal ini terjadi karena raja Majapahit Prabu Brawijaya V
memilih arah barat sebagai tempat pelariannya ketika penyerangan oleh pasukan
Islam. Dan pelarian itu menunjukkan jalan kepada Prabu Brawijaya V sampai di
Gunung Lawu sebagai tempat pelariannya hingga akhir hayatnya
Dari
beberapa pemaparan di atas, penulis memilih judul tersebut karena merupakan
tradisi warisan leluhur yang masih dianggap sangat sakral. Demikian juga dengan
memilih daerah
Ponorogo sebagai tempat penelitian karena letaknya
yang berada di
dekat lereng gunung Lawu. Ponorogo meruapakan
salah satu daerah yang dahulunya telah terjadi akulturasi
antara budaya Yogyakarta dan Majapahit. Selain itu juga didukung dengan sumber-sumber data yang
relevan.
B. Rumusan Masalah
1. Seperti apa sejarah munculnya
Tingkeban itu?
2. Apa saja perlengkapannya serta
bagaimana prosesinya?
3. Adakah Kaitannya antara tradisi
tersebut dengan ajaran Islam?
C. Tujuan
Penelitian.
1. Untuk mengetahui sejarah munculnya
upacara Tingkeban.
2. Untuk mengetahui hal-hal yang disiapkan
serta jalannya upacara Tingkeban.
3. Untuk mengetahui kaitan antara
upacara Tingkeban dan ajaran Islam.
D. Manfaat
Penelitian.
Penelitian ini kami laksanakan dengan harapan
agar masyarakat setempat khususnya dapat memahami tradisi tersebut secara benar,
baik dipandang dari segi budaya maupun ajaran agama. Selain itu tulisan
ini juga sebagai sarana berlatih bagi penilis untuk meningkatkan kemampuan menulis penulis. Dan sebagai media pewarisan
ilmu oleh sesepuh kepada generasi penerus. Dengan
adanya karya tulis ini penulis berharap dapat memberi sedikit sumbangan kepada masyarakat terutama
masyarakat. kampus. Selain itu, mungkin dapat digunakan sebagai
referensi dalam penelitian-penelitian serupa dikemudian hari.
Satu
hal yang tidak kalah pentingnya adalah agar upacara tradisi tingkeban yang
sangat baik ini dapat dilaksanakan sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang
benar-benar bernilai Islami.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Munculnya Tingkeban
Tingkeban
sebagai salah satu dari keberagaman budaya Bangsa Indonesia, sudah tidak asing
lagi di telinga masyarakat Ponorogo, dan sekitarnya. Menurut ilmu sosial dan
budaya, tingkeban dan ritual-ritual lain yang sejenis adalah suatu bentuk inisiasi,
yaitu sarana yang digunakan guna melewati suatu kecemasan. Dalam hal ini,
kecemasan calon orang tua terhadap terkabulnya harapan mereka baik selama masa
mengandung, ketika melahirkan, bahkan harapan akan anak yang terlahir nanti.
Maka dari itu, dimulai dari nenek moyang terdahulu yang belum mengenal agama,
menciptakan suatu ritual yang syarat akan makna tersebut, dan hingga saat ini
masih diyakini oleh sebagian masyarakat Ponorogo.
Tingkeban
menurut cerita yang dikembangkan turun-temurun secara lisan, memang sudah ada
sejak zaman dahulu.Menurut cerita asal nama “Tingkeban” adalah berasal dari
nama seorang ibu yang bernama Niken Satingkeb, yaitu istri dari Ki Sedya.
Mereka berdua memiliki sembilan orang anak akan tetapi kesembilan anaknya
tersebut selalu mati pada usia dini. Berbagai usaha telah mereka jalani, tetapi
tidak pula
membuahkan hasil. Hingga suatu saat mereka memberanikan diri untuk menghadap
kepada Kanjeng Sinuwun Jayabaya.
Jayabaya
akhirnya menasehati mereka agar menjalani beberapa ritual. Namun sebagai syarat
pokok, mereka harus rajin manembah mring Hyang Widhi laku becik,welas
asih mring sapada, menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan
khusyu’, dan senantiaasa berbuat baik welas asih kepada sesama. Selain itu,
mereka harus mensucikan diri, mandi dengan menggunakan air suci yang berasal
dari tujuh sumber air. Kemudian berpasrah diri lahir batin dengan dibarengi
permohonan kepada Gusti Allah,apa yang menjadi kehendak mereka, terutama untuk
kesehatan dan kesejahteraan si bayi. Supaya mendapat berkah dari Gusti Allah,
dengan menyertakan sesaji yang diantaranya adalah takir plontang, kembang
setaman, serta kelapa gading yang masih muda.
Setelah
serangkaian ritual yang dianjurkan oleh Raja Jayabaya, ternyata Gusti Kang Murbeng
Dumadi yaitu Gusti Allah mengabulkan permohonan mereka. Ki Sedya dan Niken
Satingkeb mendapat momongan yang sehat dan berumur panjang. Untuk mengingat
nama Niken Satingkeb, serangkaian ritual tersebut ditiru oleh para generasi
selanjutnya hingga sekarang dan diberi nama Tingkeban Dengan
harapan mendapat kemudahan dan tidak ada halangan selama hamil, melahirkan,
hingga si anak tumbuh dewasa. Atas dasar inilah akhirnya hingga kini ritual
tingkeban tetap dilaksanakan bahkan menjadi suatu keharusan bagi masyaraka Jawa
khususnya di daerah Ponorogo dan sekitarnya.
B. Perlengkapan
Tingkeban.
Dahulu
masyarakat Ponorogo
mengenal tiga teradisii yang harus dilaksanakan selama masa mengandung. Ketiga
teradisi tersebut adalah tradisi Neloni, Tingkeban atau Rujakan dan Procotan. Akan tetapi seiring perkembangan zaman,
ketiga tradisi tersebut diringkas secara pelaksanaannya menjadi satu, yaitu
ketika waktu Tingkeban atau tujuh bulan. Walaupun diringkas secara waktu
tetapi ubo rampe atau piranti yang harus disiapkan dari
tiap-tiap ritual tetap disediakan.
Jauh-jauh
hari sebelum usia kandungan memasuki tujuh bulan, calon
orang tua bayi harus mementukan hari yang baik sesuai petungan Jawa.
Menurut petungan Jawa hari-hari yang baik itu yang memiliki neptu genap dan jumlahnya 12 atau 16.
Tabel
1. Neptune Dino lan Pasaran Petungan Jawa
No
|
Nama Hari
|
Neptune
|
No
|
Nama Pasaran
|
Neptune
|
1
|
Akhad
|
5
|
1
|
Pon
|
7
|
2
|
Senin
|
4
|
2
|
Wage
|
4
|
3
|
Selasa
|
3
|
3
|
Kliwon
|
8
|
4
|
Rabu
|
7
|
4
|
Legi
|
5
|
5
|
Kamis
|
8
|
5
|
Pahing
|
9
|
6
|
Jum’at
|
6
|
|||
7
|
Sabtu
|
9
|
Hari-hari
yang baik adalah yang neptunya 12 atau 16 misal Kamis Kliwon, Senin Kliwon,
Akhad Pon dan sebagainya. Kamis memiliki neptu 8 dan Kliwon memiliki neptu 8
jadi Kamis Kliwon memiliki neptu 16, begitu juga Senin Kliwon memiliki neptu 12
dan Akhad Pon memiliki neptu 12.
Selain
penentuan hari yang ada aturannya, segala ubo rampe atau
piranti juga sangat rumit pula. Masing-masing ritual ada piranti
sendiri-sendiri yang beraneka ragam. Semua piranti tersebut disediakan bukan
tanpa maksud. Dari sumuanya memiliki werdi atau makna
sendiri-sendiri.
Tabel
2. Piranti Ritual Tingkeban
No
|
NamaRitual
|
Waktu Seharusnya
|
Piranti
|
1
|
Neloni
|
Tiga bulan dari masa mengandung
|
Takir plontang 4 buah
|
Golong 7 buah
|
|||
Jajan pasar
|
|||
Jenang abang
|
|||
Jenang putih
|
|||
Jenangkuning
|
|||
Jenang ireng
|
|||
Jenang sengkolo
|
|||
2
|
Tingkeban
|
Enam bulan dari masa kehamilan
|
Woh-wohan
|
Punar 2 buah
|
|||
Kembang setaman
|
|||
Sesaji dakripin(Suro ganep)
|
|||
Daun dadap srep
|
|||
Daun beringin
|
|||
Daun andong
|
|||
Janur
|
|||
Mayang
|
|||
Jenang abang
|
|||
Jenang putih
|
|||
Jenang kuning
|
|||
Jenang ireng
|
|||
Jenang waras
|
|||
Jenang sengkolo
|
|||
3
|
Procotan
|
Delapan bulan dari masa kehamilan
|
Jenang abang
|
Jenang putih
|
|||
Jenang kuning
|
|||
Jenang ireng
|
|||
Jenang waras
|
|||
Jenang sengkolo
|
|||
Jenang inthil-inthil
|
|||
Jenang sewu (dawet)
|
|||
Jenang sempuro
|
|||
Jenang kembo
|
|||
Jenang procot
|
|||
Jenang arang-arang kambang
|
|||
Ketupat lepet
|
Kamajaya dan Kamaratih
(Dewi Ratih)
Upacara
tersebut dimulai denga acara kenduri telon-telon yang
dihadiri oleh tetangga, kerabat, sanak saudara dan lain-lain. Semua
piranti telon-telon dibawa ke hadapan undangan. Setelah semua piranti
dihidangkan berjonggo atau sesepuh desa ngujubne yaitu menjelaskan
maksud dan tujuan diadakannya upacara tersebut dan menjelaskan makna satu per
satu dari makanan yang telah terhidang. Dengan sautan undangan dengan
kata-kata nggeh disetiap akhir kalimat yang diucapkan oleh
berjonggo. Satu per satu makanan yang dihidangkan dijelaskan hingga usai dan
dilanjutkan dengan do’a, dan yang terakhir dari rangkaian acara pertama ini
adalah memakan hidangan yang telah tersedia.
Selesai
upacara yang pertama yaitu upacara telon-telon, dengan menunggu waktu yang
tepat untuk melaksanakan upacara tingkeban. Prosesi tingkeban inilah yang
penulis anggap sakral karena mulai dari hari sampai jam pelaksanaanya
diyentukan dan tidak boleh dilanngar. Sebelum acara dimulai sesepuh desa menata
beberapa lembar kain jarit batik di tengah rumah shohibul hajat. Secangkir air
putih dan kelapa muda serta sebuah sabitr besar diletakkan di depan pintu.
Sedangkan di sisi pintu luar tepatnya di teras rumah telah menunngu orang tua
shohibul hajat dengan membawa lemper dan bumbu rujak.Setelah semua siap
dan waktu pelaksanaannya tiba, kedua shohibul hajat masuk ke rumah dan duduk
bersanding di atas kain jari yang telah tertata.
Sesepuh desa membaca
beberapa mantra dan mengajari beberapa kalimat untuk ducapkan oleh shohibul
hajat.Salah satu penggalan kalimat tersebut adalah ”Niat ingsun
nylameti jabang bayi, supaya kalis ing rubeda, nir ing sambikala, saka
kersaning Gusti Allah. Dadiyo bocah kang bisa mikul dhuwur mendhem jero wong
tuwa, migunani mring sesama,ambeg utama, yen lanang kadya Raden Kamajaya, yen
wadon kadya Dewi Kamaratih kabeh saka kersaning Gusti.”
Usai
prosesi tersebut keduanya berjalan keluar rumah dengan larangan tidak boleh
menengok ke belakang. Sesampainya di depan pintu, calon bapak memecah
kelapa muda dengan sabit yang dibarengi dengan calon ibu menyampar cangkir.
Upacara ini disebut juga upacara brojolan, yaitu memasukkan sepasang kelapa
gading muda yang telah digambari Kamajaya dan Kamaratih atau Arjuna dan
Sembadra ke dalam sarung dari atas perut calon ibu. Makna simbolis dari upacara
ini adalah agar kelak bayi lahir dengan mudah tanpa kesulitan.
Di
sisi lain nenek dari jabang bayi tersebut menumbuk bumbu rujak
yang telah disiapkan hingga halus. Usai menyampar cangkir dan memecah
kelapa muda, keduanya mandi dan kembali ke dalam rumah melalui pintu utama.
Sesampainya di dalam rumah akan dilanjut dengan prosesi ganti busana. Prosesi
ini dilakukan oleh calon ibi dengan tujuh jenis kain batik dengan motif yang
berbeda. Ibu akan memakai model kain yang terbaik dengan harapan agar kelak si bayi
juga memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang kain.
Tabel
3. Jenis Kain dan Maknanya.
No
|
Jenis
Kain Batik
|
Maknanya
|
1
|
Sidomukti
|
Kebahagiaan
|
2
|
Sidoluhur
|
Kemuliaan
|
3
|
Truntun
|
Nilai-nilai
yang selalu dipegang teguh
|
4
|
Parang
Kusuma
|
Perjuangan
untuk hidup
|
5
|
Semen
Rama
|
Akan
lahir anak yang cinta kasih kepada orang tua yang sebentar lagi akan menjadi
bapak dan ibu tetap bertahan selama-lamanya.
|
6
|
Udan
Riris
|
Anak
yang akan lahir akan menyenagkan dalam kehadirannya di masyarakat
|
7
|
Cakar
Ayam
|
Anak
yang lahir dapat mandiri dan memenuhi kebutuhannya sendiri.
|
Parang Kusuma
Cakar Ayam
Bumbu
rujak yang telah dihaluskan oleh calon nenek jabang bayi tersebut selanjutnya
dibawa ke dapur untuk segera dicampur dengan beberapa buah-buahhn dan
dihidangkan kepada para undangan.
Tak
lama berselang dari prosesi inti yaitu tingkeban maka langsung melanjutkan
prosesi
terakhir yaitu procotan. Dalam prosesi ini tidak jauh berbeda dengan prosesi
telon-telon, yaitu semua piranti dihidangkan di hadapan undangan, setelah
tersaji sesepuh desa ngujubne dan di saksikan oleh undangan
dengan menjawab kalimat- kalimat sesepuh tersebut dengan kata “nggeh”.
Seusai prosesi tersebut di akhiri dengan do’a dan memakan hidangan yang ada.
C. Rangkaian Acara Tingkeban
1. Pembacaan Ayat Suci
Al Qur’an
2. Sungkeman
Sungkeman ini dilakukan oleh istri kepada suami dan dilanjutkan oleh
suami – istri pada orangtuanya.
3. Siraman
Siraman ini dilakukan kepada calon orang tua jabang bayi dengan air dari
7 sumber dan dilakukan oleh tujuh orang sesepuh keluarga. Gayung yang dipakai
untuk siraman ini terbuat dari kelapa yang masih ada dagingnya dan bagian
dasarnya diberi lobang. Setelah siraman si calon ibu dpakaikan kain 7 warna,
yang melambangkan sifat-sifat baik yang akan dibawa oleh jabang bayi dalam
kandungan.
4. Pantes-pantes (Ganti Busana 7 kali)
Dalam acara pantes-pantes ini calon ibu
dipakaikan kain dan kebaya 7 macam. Kain dan kebaya yang pertama sampai yang ke
enam merupakan busana yang menunjukkan kemewahan dan kebesaran. Ibu-ibu yang
hadir saat ditanya apakah si calon ibu pantas menggunakan busana-busana
tersebut menberikan jawaban : “dereng Pantes” (belum pantas). Setelah
dipakaikan busana ke tujuh yang berupa kain lurik dengan motif sederhana baru
ibu-ibu yang hadir menjawab : “pantes” (pantas). Di sini merupakan perlambang
bahwa ibu yang sedang mengandung sebiknya tidak memikirkan hal yang sifatnya
keduniawian dan berpenampilan bersahaja.
5. Tigas Kendit
Calon ibu kemudian diikat perutnya (dikenditi)
dengan janur kuning. Ikatan janur ini harus dipotong (ditigas) oleh calon ayah
si bayi untuk membuka ikatan yang menghalangi lahirnya si jabang bayi. Ikatan
tersebut dipotong dengan keris yang ujungnya diberi kunyit sebagai tolak bala.
Tigas Kendhit
6. Brojolan
Dalam acara brojolan ini, dua buah Cengkir
gading (kelapa gading muda) yang telah diberi gambar wayang (biasanya gambar
Betara Kamajaya-Dewi Ratih atau Harjuna – Sembadra) dimasukkan oleh calon ayah
melalui perut calon ibu dan diterima oleh nenek jabang bayi. Harapan dari acara
ini adalah supaya si jabang bayi yang lahir memiliki fisik dan sifat seperti
tokoh wayang tersebut.
7. Angrem
Di sini Calon Ibu duduk di tumpukan kain yang
tadi digunakan dalam acara Pantes-pantes seperti ayam betina yang sedang
mengerami telurnya. Harapannya adalah agar si jabang bayi dapat lahir cukup
bulan.
Pada saat pelaksanaan acara ini dikumandangkannya bacaan-bacaan “Shalawat
Nabi” yang diiringi alunan musik rebana.
8. Dhahar Ajang Cowek
Di sini calon ayah duduk mendamping calon ibu di
tumpukan kain dan berdua mengambil makanan yang disediakan dengan alas makan
cowek (cobek)dan mereka berdua memakannya sampai habis. Harapannya adalah
supaya plasenta bayi menjadi sehat sehingga si jabang bayi dapat bertumbuh
dengan sehat.
Calon ayah si bayi kemudian menjatuhkan tropong
(alat tenun tradisional ) di sela kain 7 warna yang melambangkan proses
kelahiran si bayi kelak yang berjalan lancar dan sempurna.
D. Kaitan
Tingkeban Dengan Ajaran Islam
Sebenarnya
pelaksanaan tingkeban berangkat dari memahami hadits nabi yang
diriwayatkan oleh Bukhori, yang menjelaskan tentang proses perkembangan janin
dalam rahim perkembangan seorang perempuan. Dalam hadits tersebut dinyatakan
bahwa pada saat janin berumur 120 hari (4 bulan) dalam kandungan ditiupkan ruh
dan ditentukan 4 perkara, yaitu umur, jodoh, rizki, dan nasibnya.
Sekalipun
dalam hadits tersebut tidak ada perintah untuk melakukan ritual, tetapi
melakukan permohonan pada saat itu tidak dilarang. Dengan dasar hadits
tersebut, maka kebiasaan orang jawa khususnya Yogya-Solo
mengadakan upacara adat untuk melakukan permohonan agar janin yang ada dalam
rahim seseorang istri lahir selamat dan menjadi anak yang soleh dan solekhah.
Pada dasarnya
“Tingkeban” merupakan ritual yang bernilai sakral dan bertujuan sangat mulia.
Karena di dalam ritual Tingkeban terdapat permohonan do’a kepada Gusti Alloh.
Dan dikumandangkan kalimat-kalimat Shalawat Nabi merupakan bukti pelaksanaan
tingkeban secara Islami. Dikumandangkannya Shalawat Nabi dalam tradisi umat
Islam di Ponorogo dikenal dengan “Berjanjen”.
Berjanjen ini
diharapkan dapat memberikan pendidikan kepada Janin yang dikandung oleh sang
ibu sejak “Si Jabang Bayi” masih dalam kandungan seiring dengan ditiupkannya
“RUH” kepada “Si Jabang Bayi”.
BAB
III
SIMPULAN
Berdasarkan
uraian panjang di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tingkeban adalah suatu
bentuk inisiasi masyarakat pada jaman dahulu,
yang mengharapkan
dikaruniai anak yang seperti diharapkan serta memperoleh kelancaran baik ketika
mengandung maupun saat melahirkan. Tradisi ini dipercaya berawal
pada masa Jayabaya yang di wariskan turun temurun hingga sekarang dan ditaati
oleh sebagian besar masyarakat Jawa.
Adapun
kaitannya dengan ajaran Islam adalah sebagai penghormatan ketika masuknya ruh
ke dalam jasad jabang bayi dengan harapan agar ruh yang diberikan adalah ruh
yang baik sehingga anak yang lahir nantinya juga berakhlak baik pula.
Mitoni atau tingkeban merupakan rangkaian
upacara siklus hidup yang sampai saat ini masih dilakukan oleh sebagian
masyarakat jawa. Kata mitoni berasal dari kata “am” (awalan am menunjukkan kata
kerja) dan “7” yang berarti suatu
kegiatan yang dilakukan pada bulan ke-7. Upacara mitoni merupakan suatu adat
kebiasaan atau suatu upacara yang dilakukan pada bulan ke-7 masa kehamilan
pertama seorang perempuan dengan tujuan agar embrio dalam kandungan dan ibu
yang mengandung senantiasa memperoleh keselamatan. Pada hakekatnya upacara ini
dipercaya sebagai sarana menghilangkan petaka. Akan tetapi dalam syariat Islam
adat seperti ini tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan ajaran. Oleh
karena itu seharusnya mulai dari sekarang adat tersebut mulai untuk dihilangkan
dari kehidupan masyarakat dan akan membentuk masyarakat yang Islami.
Upacara adat 7 bulanan
yang disebut mitoni ataupun tingkeban ini mengajarkan kepada masyarakat untuk
saling kerjasama menghargai terhadap sesama.tidak hanya itu, mitoni ini
mengangkat berbagai macam kain-kain yang dipakai oleh calon ibu yang mempunyai
makna masing-masing. Dari makna-makna tersebut kita dapat mengambil pelajaran,
yaitu kita sebagai manusia makhluk ciptaan Allah SWT hendaknya harus cermat
serta harus merencanakan bagaimana kita hidup di dunia ini yang penuh dengan
kesenangan ataupun sendau gurau dan lainnya. Jika kita sebagai manusia hidup di
dunia ini tidak mempunyai tujuan hidup yaitu akhirat, alangkah menyesalnya kita
sebagai manusia. Oleh sebab itu kita harus mempunyai rencana- rencana maupun
target-target hidup di masa mendatang kelak, sehingga kita menjadi manusia yang
sukses tidak hanya di dunia namun di akherat pun juga. Dalam prosesi mitoni
juga dijelaskan bahwa yang memimpin upacara adalah ibu yang sudah
berpengalaman, disini bisa dilihat bahwa dalam suatu acara maupun kepanitiaan
maupun kepemerintahan, sudah tentu kita hendaknya memilih seseorang yang lebih
mengerti maupun lebih berpengalaman untuk memimpin suatu kelompok.
Upacara “Tingkeban”
merupakan adat, tradisi dan budaya bangsa Indonesia, khususnya masyarakat yang
ada di pulau Jawa dan terlebih lagi bagi masyarakat di Jawa Timur, Jawa Tengah
maupun di Daerah Istimewa Yogjakarta.
Pada dasarnya
“Tingkeban” merupakan ritual yang bernilai sakral dan bertujuan sangat mulia. Karena
di dalam ritual Tingkeban terdapat permohonan do’a kepada Gusti Alloh. Dan dikumandangkan
kalimat-kalimat Shalawat Nabi merupakan bukti pelaksanaan tingkeban secara
Islami. Dikumandangkannya Shalawat Nabi dalam tradisi umat Islam di Ponorogo
dikenal dengan “Berjanjen”.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Gunasasmita. Kitab Pribmon Jawa Serbaguna. Yogyakarta:
Soemodidjaja
Mahadewa,
2009
2. http://www.jelajahbudaya.com/ (Jum’at
25 November 2011: 09.00)
3. http://wartawarga.gunadarma.ac.id/ (Jum’at
25 November 2011: 09.00)
4. Tjakraningrat, K.P. Harya Atassadhur
Adimmakna. Yogyakarta: Soemodidjaja
Mahadewa,
1880.
5. Bektijamal Adimmakna. Yogyakarta:
Soemodidjaja Mahadewa, 1880.
6. Betaljemur Adimmakna. Yogyakarta:
Soemodidjaja Mahadewa, 1880.
No comments:
Post a Comment